Monday, January 20, 2014

Pemuda Berjiwa Pancasila di Era Globalisasi untuk Mewujudkan Kemandirian Bangsa



              Di abad 21 ini, informasi dan teknologi semakin maju, tak ada batas ruang dan waktu. Semua aspek kehidupan bisa berlangsung selama 24 jam non stop. Dunia tak akan pernah mati dengan segala aktivitas-aktivitas umat manusia, zaman dimana manusia menjadi individualis, zaman dimana semua orang menjadi konsumerisme, serta zaman dimana nilai-nilai luhur bangsa telah entah kemana hilangnya. Zaman ini bukan tak pernah ada yang memprediksi, tetapi seorang sastrawan dan pujangga Jawa yang bernama Raden Ngabehi Ronggowarsito sejak dulu pernah menulis dalam Serat Kalathida[1] pada bab 8, seperti di bawah ini :
   Amenangi jaman edan ewuh aya ing pambudi,
   melu edan ora tahan
   yen tan melu anglakoni boya kaduman melik,
   kaliren wekasanipun.
   Dillalah karsaning Allah,
   Sakbeja-bejane wong kang lali,
   luwih beja kang eling lan waspada.
Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kurang lebih berbunyi :
    Mengalami zaman gila, serba repot dalam bertindak,
    ikut gila tidak tahan
    jika tidak ikut berbuat gila tidak memperoleh bagian hak milik,
    akhirnya menjadi kelaparan.
    Namun dari kehendak Allah,
    seuntung untungnya orang yang lupa diri,
    masih lebih beruntung orang yang ingat dan waspada.
            Zaman yang demikian ini lah yang disebut zaman globalisasi. Menghadapi zaman globalisasi harus dengan selektif, semua akibat dan pengaruh dalam globalisasi tidak semuanya positif, ibarat pedang bermata dua, yakni bisa membahayakan diri sendiri apabila tidak tepat memaknai globalisasi. Indonesia seharusnya berbangga hati mempunyai apa yang dinamakan Pancasila, yang sejatinya sebagai falsafah bangsa, ideologi bangsa,  jati diri bangsa, serta sebagai dasar negara. Pancasila adalah filter bangsa kita mengahadapi zaman globalisasi. Tetapi apa mau dikata ketika filter yang seharusnya sebagai pengaman bangsa malah terlupakan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mulai luntur di jiwa bangsanya sendiri. Dan sangat ironis sekali ketika pemuda sebagai pemangku masa depan bangsa malah menjadi generasi yang melupakan Pancasila. Bagaimana bangsa Indonesia di masa depan bisa mandiri ketika pemudanya sebagian masih masa bodoh dengan falsafah, ideologi, jati diri, dan dasar negaranya. Itulah tantangan terbesar yang harus dihadapi Bangsa Indonesia.
Pemuda dan Pancasila
            Dalam Undang-Undang No 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa “Pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun”. Secara normatif memang disebutkan dalam usia, tetapi dari sudut pandang lain bisa dikatakan pemuda adalah seseorang yang mempunyai jiwa yang muda.
            Dari definisi pemuda di atas maka kini bisa dikaitkan antara pemuda dan Pancasila. Pemuda yang sejatinya dalam masa pertumbuhan serta perkembangan baik secara fisik maupun secara intelektual mempunyai andil yang sangat besar untuk memaknai akan pentingnya nilai-nilai Pancasila kaitannya dengan perannya di masa depan. Pemuda merupakan tongkat estafet kepemimpinan sebuah bangsa, maka bangsa Indonesia membutuhkan pemuda yang memahami, menjiwai dan mengamalkan apa yang menjadi falsafah, ideologi, jati diri bangsa serta dasar negara. Pemuda Indonesia diharapkan mampu menjiwai serta mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai agen perubahan (agent of change), pengontrol sosial (social control), generasi penerus bangsa (iron stock), seyogyanya pemuda harus sadar perannya yang sangat vital tersebut.  Nilai Pancasila sebagai pedoman kehidupan bangsa sangat bergantung pada pembudayaan Pancasila dari generasi ke generasi secara berkesinambungan. Anies Baswedan juga berpendapat "Pancasila itu seperti tenun, ikatannya tak boleh robek. Harus selalu dijaga karena sekali robek akan rusak semuanya."[2]
            Pancasila bukan jajaran kata usang yang hanya ada pada pigora-pigora dalam gambar dada burung Garuda, atau pada monumen-monumen di pertigaan atau perempatan di beberapa sudut kota, dan Pancasila bukan hanya sekedar diucapkan dalam upacara bendera hari Senin  di sekolah-sekolah seantero negeri ini. Tetapi Pancasila adalah pegangan hidup bangsa Indonesia, Pancasila merupakan ruh bangsa Indonesia, Pancasila tanpa Indonesia adalah kemustahilan, dan Indonesia tanpa Pancasila adalah kehancuran. Mengapa demikian, karena Pancasila digali dari nilai-nilai leluhur bangsa Indonesia, jadi sangat mustahil ada Pancasila tanpa adanya bangsa Indonesia, serta apabila Indonesia tidak berpegang teguh pada Pancasila maka kehancuran adalah jawabannya, degradasi moral, masuknya liberalisme dan kapitalisme, serta gaya hidup penuh dengan kerusakan secara masif adalah contohnya. Tak ada kata lain, pemuda berjiwa Pancasila adalah harapan ibu pertiwi.
Pemuda Berjiwa Pancasila dan Globalisasi
            Di setiap zaman, generasi muda mempunyai tantangan tersendiri untuk membangun Indonesia. Begitu juga dalam zaman gobalisasi ini, Indonesia membutuhkan pemikiran-pemikiran kritis serta idealis yang terarah untuk memajukan Indonesia. Dengan semakin berkembangnya zaman ini, maka pemuda Indonesia mengemban tanggungjawab yang berat, yakni memajukan Indonesia dengan cara-cara Indonesia. Sesuai penggalan kalimat bijak dari Ki Hajar Dewantara “Aku hanya orang biasa yang bekerja untuk bangsa Indonesia dengan cara Indonesia".
            Lantas, dengan cara-cara Indonesia yang bagaimanakah pemuda Indonesia untuk menghadapi zaman globalisasi ini? Pasti, jawabannya dengan Pancasila. Seperti penjelasan-penjelasan sebelumnya, bahwa sangat pentingnya Pancasila bagi pemuda Indonesia. Semua sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara mengalir nilai-nilai Pancasila. Tetapi ketika zaman gobalisasi menerpa, seakan-akan nilai Pancasila menghilang dari bangsanya sendiri.
            Westernisasi, konsumerisme, individualisme, hedonisme, apatis, mungkin itu sebagian contoh kecil efek negatif dari globalisasi. Lalu dengan efek itu apa pemuda hanya berdiam diri menikmati arus? Tentu jawabannya adalah tidak. Ketika banyak generasi penerus ini terlena dengan kenikmatan globalisasi yang adakalanya menyesatkan, tak sedikit pula yang masih berdiri tegap menerjang dan melawan efek negatif globalisasi. Pemuda yang menjunjung toleransi umat beragama, pemuda yang peka dengan kondisi sosial, pemuda yang mengerti dan mengaktualisasikan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, pemuda yang mengedepankan dialog dan musyawarah untuk memecahkan setiap permasalahan yang ada, serta pemuda yang kritis ketika ada kebijakan-kebijakan yang dinilai kapitalis ataupun liberal yang tidak mencerminkan keadilan, itulah pemuda yang dibutuhkan bangsa ini di zaman globalisasi. Dan itu semua adalah pemuda yang memiliki jiwa Pancasila.
Kemandirian Bangsaku dalam Genggamanku !
“Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya, berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”, kalimat yang berapi-api pernah terucap oleh Bung Karno. Saat itu Bapak Proklamator kita sudah sangat menyadari bahwa masa depan bangsa dan negara Indonesia terletak di tangan generasi muda. Generasi yang mempunyai potensi yang sangat besar. Di pundak pemuda nasib bangsa Indonesia disandarkan.
Dengan komplektisitas yang ada pada zaman globalisasi, maka suatu bangsa yang bisa menjaga eksistensinya adalah bangsa yang berani tampil dengan segala ciri aslinya untuk tetap menjadi bangsa yang mandiri. Dilihat dari sudut pandang tersebut, maka sudah siapkah pemuda Indonesia menjawab tantangan itu? Siapkah pemuda memegang amanah yang berat itu? Tak ada alasan lain, tak ada jawaban lain, “Kami Siap!”. Ketika kesiapan tersebut di imbangi dengan “perbekalan” yang memadai, tak ada yang mustahil Indonesia akan menjadi bangsa yang besar dengan segala bentuk kemandirian di semua aspek kehidupan. “Perbekalan” pemuda Indonesia yang paling penting dan mendasar adalah Pancasila. Sesuai dengan penjabaran di sub judul sebelumnya, bahwa pemuda Indonesia yang berjiwa Pancasila bisa dipastikan mempunyai cara-cara yang mengandung nilai-nilai Pancasila di setiap perbuatan yang dilakukan.
Di zaman globalisasi, ekonomi serasa disetir oleh negara adidaya, politik dipegang yang berkuasa, hukum layaknya tak punya suara. Lalu, dimana Pancasila wahai pemuda Indonesia?  “Pancasila ada di jiwa kami, Pancasila yang mengilhami setiap perbuatan kami. Ketika Pancasila menjadi falsafah, ideologi, serta jatidiri bangsa bahkan dasar negara, maka disitulah Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum kami. Ketika hukum di negara kami menjadi panglima, maka Pancasila itu adalah rujukan awal yang tak terbantahkan. Ketika ada yang akan memporak-porandakan negera kami dari luar maupun dari dalam, kami hanya mempunyai nilai dasar yang murni untuk mengkaji semua persoalan itu, yaitu dengan Pancasila. Ketika bangsa lain di zaman globalisasi sudah maju dengan ideologi liberal, komunis bahkan kapitalis mereka, maka kami serukan lagi bahwa kami akan tetap menggunakan Pancasila”.
            Ketika semua pemuda Indonesia berani menjawab tantangan dengan seruan itu, maka jangan diragukan lagi, bahwa suatu saat bangsa Indonesia dengan tangan-tangan tangguh dan terampil pemudanya, akan digenggamlah dunia secara nyata. Nyata dalam hal ekonomi, iptek, dan lainnya. Indonesia menjadi negara yang mandiri itu bukanlah hal sulit, Indonesia menjadi Macan Asia itu bukanlah hal yang aneh, bahkan Indonesia menjadi negara adidaya itu bukanlah suatu kemustahilan, asal bangsa ini harus sadar, bahwa pemuda Indonesia dengan berbagai potensi yang ada itu merupakan aset sangat berharga negeri ini, aset yang ketika memang telah dijiwai Pancasila akan menjadi kekuatan tersendiri yang tak akan dimiliki bangsa lain.
Penutup
Batas ruang dan waktu saat ini adalah bukan penghalang, karena teknologi yang berbicara, semua berkata inilah globalisasi, tetapi sesungguhnya ini merupakan pemutakhiran teknologi yang memang perlu untuk kemajuan peradaban dunia. Indonesia tidak menentang modernisasi, apalagi globalisasi. Indonesia memang tidak dapat membendung, tetapi Indonesia dapat mengambil dampak positif tanpa perlu menggunakan yang negatif. Karena Indonesia mempunyai Pancasila sebagai ideologi terbuka yang mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman tanpa pengubahan nilai dasarnya.
Generasi muda Indonesia kini adalah pemegang kunci bangsa di masa depan. Dalam catatan sejarah, pemuda Indonesia adalah aktor utama dalam setiap perubahan yang terjadi di negeri ini. Akankah perubahan Indonesia ke arah yang lebih baik itu terulang lagi pada zaman globalisasi ini. Mungkin hal itu bisa terjadi bila pemuda Indonesia mengetahui perannya sebagai generasi penerus. Tetapi tak hanya sampai disitu, generasi penerus yang dimaksud adalah generasi yang mampu membangun Indonesia dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila.
Dengan jiwa Pancasila dalam sanubari, globalisasi bukan sesuatu hal yang pantas dikebiri. Walaupun liberalis, komunis, kapitalis, apatis, individualis, matrealistis, adalah penghambat yang meracuni. Tak masalah buat kami, kerena mulai detik ini, “Pancasila adalah harga mati! untuk membangun Indonesia yang mandiri”.


[1] Didapat dari: http://karatonsurakarta .com/ronggowarsito.html), (on-line), diakses tanggal 17 Oktober 2015.
[2] Dikutip dari: Republika.co.id, Anies Baswedan: Pancasila Seperti Kain Tenun yang Harus Dijaga, (on-line), (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/06/02/mnrog9-anies-baswedan-pancasila-seperti-kain-tenun-yang-harus-dijaga), diakses 17 Oktober 2015.

No comments:

Post a Comment