Di abad 21 ini, informasi dan
teknologi semakin maju, tak ada batas ruang dan waktu. Semua aspek kehidupan
bisa berlangsung selama 24 jam non stop.
Dunia tak akan pernah mati dengan segala aktivitas-aktivitas umat manusia,
zaman dimana manusia menjadi individualis, zaman dimana semua orang menjadi
konsumerisme, serta zaman dimana nilai-nilai luhur bangsa telah entah kemana
hilangnya. Zaman ini bukan tak pernah ada yang memprediksi, tetapi seorang
sastrawan dan pujangga Jawa yang bernama Raden Ngabehi Ronggowarsito sejak dulu
pernah menulis dalam Serat Kalathida[1]
pada bab 8, seperti di bawah ini :
Amenangi jaman edan ewuh aya ing pambudi,
melu edan ora tahan
yen tan melu anglakoni boya kaduman melik,
kaliren wekasanipun.
Dillalah karsaning Allah,
Sakbeja-bejane wong kang lali,
luwih beja kang eling lan waspada.
Apabila
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kurang lebih berbunyi :
Mengalami
zaman gila, serba repot dalam bertindak,
ikut gila
tidak tahan
jika tidak
ikut berbuat gila tidak memperoleh bagian hak milik,
akhirnya
menjadi kelaparan.
Namun dari
kehendak Allah,
seuntung
untungnya orang yang lupa diri,
masih lebih beruntung orang yang ingat dan
waspada.
Zaman
yang demikian ini lah yang disebut zaman globalisasi. Menghadapi zaman
globalisasi harus dengan selektif, semua akibat dan pengaruh dalam globalisasi
tidak semuanya positif, ibarat pedang bermata dua, yakni bisa membahayakan diri
sendiri apabila tidak tepat memaknai globalisasi. Indonesia seharusnya
berbangga hati mempunyai apa yang dinamakan Pancasila, yang sejatinya sebagai
falsafah bangsa, ideologi bangsa, jati
diri bangsa, serta sebagai dasar negara. Pancasila adalah filter bangsa kita mengahadapi zaman globalisasi. Tetapi apa mau
dikata ketika filter yang seharusnya
sebagai pengaman bangsa malah terlupakan dan nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya mulai luntur di jiwa bangsanya sendiri. Dan sangat ironis sekali
ketika pemuda sebagai pemangku masa depan bangsa malah menjadi generasi yang
melupakan Pancasila. Bagaimana bangsa Indonesia di masa depan bisa mandiri
ketika pemudanya sebagian masih masa bodoh dengan falsafah, ideologi, jati
diri, dan dasar negaranya. Itulah tantangan terbesar yang harus dihadapi Bangsa
Indonesia.
Pemuda
dan Pancasila
Dalam Undang-Undang No 40 Tahun 2009
tentang Kepemudaan, Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa “Pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting
pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga
puluh) tahun”. Secara normatif memang disebutkan dalam usia, tetapi dari
sudut pandang lain bisa dikatakan pemuda adalah seseorang yang mempunyai jiwa
yang muda.
Dari definisi pemuda di atas maka
kini bisa dikaitkan antara pemuda dan Pancasila. Pemuda yang sejatinya dalam
masa pertumbuhan serta perkembangan baik secara fisik maupun secara intelektual
mempunyai andil yang sangat besar untuk memaknai akan pentingnya nilai-nilai
Pancasila kaitannya dengan perannya di masa depan. Pemuda merupakan tongkat
estafet kepemimpinan sebuah bangsa, maka bangsa Indonesia membutuhkan pemuda
yang memahami, menjiwai dan mengamalkan apa yang menjadi falsafah, ideologi,
jati diri bangsa serta dasar negara. Pemuda Indonesia diharapkan mampu menjiwai
serta mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam sendi-sendi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sebagai agen perubahan (agent of change), pengontrol sosial (social control), generasi penerus bangsa (iron stock), seyogyanya pemuda harus sadar perannya yang sangat
vital tersebut. Nilai Pancasila sebagai
pedoman kehidupan bangsa sangat bergantung pada pembudayaan Pancasila dari
generasi ke generasi secara berkesinambungan. Anies Baswedan juga berpendapat "Pancasila
itu seperti tenun, ikatannya tak boleh robek. Harus selalu dijaga karena sekali
robek akan rusak semuanya."[2]
Pancasila
bukan jajaran kata usang yang hanya ada pada pigora-pigora dalam gambar dada
burung Garuda, atau pada monumen-monumen di pertigaan atau perempatan di
beberapa sudut kota, dan Pancasila bukan hanya sekedar diucapkan dalam upacara
bendera hari Senin di sekolah-sekolah
seantero negeri ini. Tetapi Pancasila adalah pegangan hidup bangsa Indonesia,
Pancasila merupakan ruh bangsa Indonesia, Pancasila tanpa Indonesia adalah
kemustahilan, dan Indonesia tanpa Pancasila adalah kehancuran. Mengapa
demikian, karena Pancasila digali dari nilai-nilai leluhur bangsa Indonesia,
jadi sangat mustahil ada Pancasila tanpa adanya bangsa Indonesia, serta apabila
Indonesia tidak berpegang teguh pada Pancasila maka kehancuran adalah
jawabannya, degradasi moral, masuknya liberalisme dan kapitalisme, serta gaya
hidup penuh dengan kerusakan secara masif adalah contohnya. Tak ada kata lain,
pemuda berjiwa Pancasila adalah harapan ibu pertiwi.
Pemuda
Berjiwa Pancasila dan Globalisasi
Di setiap zaman, generasi muda
mempunyai tantangan tersendiri untuk membangun Indonesia. Begitu juga dalam
zaman gobalisasi ini, Indonesia membutuhkan pemikiran-pemikiran kritis serta
idealis yang terarah untuk memajukan Indonesia. Dengan semakin berkembangnya
zaman ini, maka pemuda Indonesia mengemban tanggungjawab yang berat, yakni
memajukan Indonesia dengan cara-cara Indonesia. Sesuai penggalan kalimat bijak
dari Ki Hajar Dewantara “Aku hanya orang biasa yang bekerja untuk bangsa
Indonesia dengan cara Indonesia".
Lantas, dengan cara-cara Indonesia
yang bagaimanakah pemuda Indonesia untuk menghadapi zaman globalisasi ini?
Pasti, jawabannya dengan Pancasila. Seperti penjelasan-penjelasan sebelumnya, bahwa
sangat pentingnya Pancasila bagi pemuda Indonesia. Semua sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara mengalir nilai-nilai Pancasila. Tetapi
ketika zaman gobalisasi menerpa, seakan-akan nilai Pancasila menghilang dari
bangsanya sendiri.
Westernisasi, konsumerisme,
individualisme, hedonisme, apatis, mungkin itu sebagian contoh kecil efek
negatif dari globalisasi. Lalu dengan efek itu apa pemuda hanya berdiam diri
menikmati arus? Tentu jawabannya adalah tidak. Ketika banyak generasi penerus
ini terlena dengan kenikmatan globalisasi yang adakalanya menyesatkan, tak
sedikit pula yang masih berdiri tegap menerjang dan melawan efek negatif
globalisasi. Pemuda yang menjunjung toleransi umat beragama, pemuda yang peka
dengan kondisi sosial, pemuda yang mengerti dan mengaktualisasikan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika, pemuda yang mengedepankan dialog dan musyawarah untuk
memecahkan setiap permasalahan yang ada, serta pemuda yang kritis ketika ada
kebijakan-kebijakan yang dinilai kapitalis ataupun liberal yang tidak
mencerminkan keadilan, itulah pemuda yang dibutuhkan bangsa ini di zaman
globalisasi. Dan itu semua adalah pemuda yang memiliki jiwa Pancasila.
Kemandirian Bangsaku dalam
Genggamanku !
“Berikan
aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya, berikan aku 10
pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”, kalimat yang berapi-api pernah
terucap oleh Bung Karno. Saat itu Bapak Proklamator kita sudah sangat menyadari
bahwa masa depan bangsa dan negara Indonesia terletak di tangan generasi muda.
Generasi yang mempunyai potensi yang sangat besar. Di pundak pemuda nasib
bangsa Indonesia disandarkan.
Dengan
komplektisitas yang ada pada zaman globalisasi, maka suatu bangsa yang bisa
menjaga eksistensinya adalah bangsa yang berani tampil dengan segala ciri
aslinya untuk tetap menjadi bangsa yang mandiri. Dilihat dari sudut pandang
tersebut, maka sudah siapkah pemuda Indonesia menjawab tantangan itu? Siapkah
pemuda memegang amanah yang berat itu? Tak ada alasan lain, tak ada jawaban
lain, “Kami Siap!”. Ketika kesiapan tersebut di imbangi dengan “perbekalan”
yang memadai, tak ada yang mustahil Indonesia akan menjadi bangsa yang besar
dengan segala bentuk kemandirian di semua aspek kehidupan. “Perbekalan” pemuda
Indonesia yang paling penting dan mendasar adalah Pancasila. Sesuai dengan
penjabaran di sub judul sebelumnya, bahwa pemuda Indonesia yang berjiwa
Pancasila bisa dipastikan mempunyai cara-cara yang mengandung nilai-nilai
Pancasila di setiap perbuatan yang dilakukan.
Di
zaman globalisasi, ekonomi serasa disetir oleh negara adidaya, politik dipegang
yang berkuasa, hukum layaknya tak punya suara. Lalu, dimana Pancasila wahai
pemuda Indonesia? “Pancasila ada di jiwa
kami, Pancasila yang mengilhami setiap perbuatan kami. Ketika Pancasila menjadi
falsafah, ideologi, serta jatidiri bangsa bahkan dasar negara, maka disitulah
Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum kami. Ketika hukum di negara
kami menjadi panglima, maka Pancasila itu adalah rujukan awal yang tak
terbantahkan. Ketika ada yang akan memporak-porandakan negera kami dari luar
maupun dari dalam, kami hanya mempunyai nilai dasar yang murni untuk mengkaji
semua persoalan itu, yaitu dengan Pancasila. Ketika bangsa lain di zaman
globalisasi sudah maju dengan ideologi liberal, komunis bahkan kapitalis
mereka, maka kami serukan lagi bahwa kami akan tetap menggunakan Pancasila”.
Ketika
semua pemuda Indonesia berani menjawab tantangan dengan seruan itu, maka jangan
diragukan lagi, bahwa suatu saat bangsa Indonesia dengan tangan-tangan tangguh
dan terampil pemudanya, akan digenggamlah dunia secara nyata. Nyata dalam hal
ekonomi, iptek, dan lainnya. Indonesia menjadi negara yang mandiri itu bukanlah
hal sulit, Indonesia menjadi Macan Asia itu bukanlah hal yang aneh, bahkan
Indonesia menjadi negara adidaya itu bukanlah suatu kemustahilan, asal bangsa
ini harus sadar, bahwa pemuda Indonesia dengan berbagai potensi yang ada itu
merupakan aset sangat berharga negeri ini, aset yang ketika memang telah
dijiwai Pancasila akan menjadi kekuatan tersendiri yang tak akan dimiliki
bangsa lain.
Penutup
Batas
ruang dan waktu saat ini adalah bukan penghalang, karena teknologi yang
berbicara, semua berkata inilah globalisasi, tetapi sesungguhnya ini merupakan
pemutakhiran teknologi yang memang perlu untuk kemajuan peradaban dunia.
Indonesia tidak menentang modernisasi, apalagi globalisasi. Indonesia memang
tidak dapat membendung, tetapi Indonesia dapat mengambil dampak positif tanpa
perlu menggunakan yang negatif. Karena Indonesia mempunyai Pancasila sebagai ideologi
terbuka yang mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman tanpa pengubahan
nilai dasarnya.
Generasi
muda Indonesia kini adalah pemegang kunci bangsa di masa depan. Dalam catatan
sejarah, pemuda Indonesia adalah aktor utama dalam setiap perubahan yang
terjadi di negeri ini. Akankah perubahan Indonesia ke arah yang lebih baik itu
terulang lagi pada zaman globalisasi ini. Mungkin hal itu bisa terjadi bila
pemuda Indonesia mengetahui perannya sebagai generasi penerus. Tetapi tak hanya
sampai disitu, generasi penerus yang dimaksud adalah generasi yang mampu
membangun Indonesia dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila.
Dengan
jiwa Pancasila dalam sanubari, globalisasi bukan sesuatu hal yang pantas
dikebiri. Walaupun liberalis, komunis, kapitalis, apatis, individualis,
matrealistis, adalah penghambat yang meracuni. Tak masalah buat kami, kerena
mulai detik ini, “Pancasila adalah harga mati! untuk membangun Indonesia yang
mandiri”.
[1] Didapat dari: http://karatonsurakarta
.com/ronggowarsito.html), (on-line), diakses tanggal 17 Oktober 2015.
[2] Dikutip dari: Republika.co.id, Anies Baswedan: Pancasila Seperti Kain Tenun
yang Harus Dijaga, (on-line), (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/06/02/mnrog9-anies-baswedan-pancasila-seperti-kain-tenun-yang-harus-dijaga),
diakses 17 Oktober 2015.
No comments:
Post a Comment