Saturday, October 12, 2013

Reinterpretasi Budaya Permisif dalam Politik: Wujud Pencegahan Korupsi Sistemik

Pendahuluan
            Korupsi di Indonesia sekarang ini secara terang-terangan menjadi fenomena di masyarakat baik dari aspek hukum, politik, sosial, maupun ekonomi. Serta hampir setiap hari menjadi topik utama pemberitaan media massa nasional. Hal ini kian mengkhawatirkan karena korupsi berkembang pesat, masif, dan sistematis. Artinya, korupsi saat ini tidak dilakukan secara serampangan, melainkan korupsi sudah tertanam dalam suatu sistem birokrasi yang rapi sehingga uang negara mengalir ke kantong-kantong “tikus berdasi” tersebut tidak mudah diketahui, bahkan lembaga yang mempunyai wewenang untuk membasmi korupsi pun membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk menyeret oknum-oknum korup itu ke Pengadilan Tipikor.
            Korupsi sistematis di berbagai lembaga negara tidak hanya melibatkan satu atau dua oknum pejabat, tetapi sudah melibatkan beberapa pihak yang terkoordinasi secara baik. Hal demikianlah patut diduga bahwa lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif sudah disusupi suatu sistem “kotor” tersebut. Kalimat “mungkin lagi apes” banyak keluar dari mulut masyarakat maupun pengamat politik dan pemerhati korupsi ketika ada pejabat yang tertangkap tangan atau terkena sadap KPK karena dicurigai terlibat korupsi sistemik, hal demikian mungkin karena terlalu banyaknya pejabat yang terlibat korupsi secara silih berganti muncul di pemberitaan media dan membuat kepercayaan publik kepada pejabat semakin lama semakin memudar.

Operandi Korupsi Sistemik
            Korupsi sistemik tergolong ke dalam grand corruption yakni korupsi besar dan biasanya dilakukan pejabat yang mempunyai wewenang besar, berkaitan dengan pengambilan kebijakan yang mempengaruhi hajat hidup rakyat. Menurut Wijayanto, grand corruption menyebabkan kerugian negara yang sangat besar secara finansial maupun nonfinansial, modus operandi yang umum dilakukan adalah kolusi antara kekuatan ekonomi, kekuatan politik, dan para pengambil kebijakan publik.[1]
            World Bank menyebutkan korupsi yang menyangkut kebijakan publik itu adalah state capture, yang dijabarkan dalam berbagai bentuk, yakni: (1) suap kepada DPR untuk mempengaruhi perundangan, (2) suap kepada pejabat negara untuk mempengaruhi kebijakan publik, (3) suap kepada lembaga peradilan untuk mempengaruhi keputusan terkait dengan kasus-kasus besar, (4) suap kepada pejabat bank sentral untuk mempengaruhi kebijakan moneter, dan (5) sumbangan kampanye ilegal untuk partai politik.[2] Dari kelima yang disebutkan World Bank bentuk state capture, maka tak dapat dipungkiri lagi bahwa di Indonesia semuanya ter-blow-up ke publik mulai dari tangkap tangan KPK, tahap penyelidikan hingga putusan pengadilan.
            Sedangkan menurut Rohim, modus operandi korupsi di Indonesia dikelompokkan menjadi lima kelompok: (1) modus operandi korupsi secara umum, meliputi penyuapan, pemalsuan, pemerasan, penyalahgunaan jabatan atau wewenang, dan nepotisme; (2) modus operandi korupsi dalam pemalsuan pajak; (3) modus operandi korupsi dalam pengadaan barang dan jasa; (4) modus operandi korupsi dalam pencucian uang; (5) modus operandi korupsi dalam pengelolaan hutan.[3]
 
Budaya Permisif dan Politik
 Secara harfiah permisif mempunyai arti bersifat terbuka (serba membolehkan atau suka mengijinkan terhadap hal-hal yang dahulu dianggap tabu).[4] Maka budaya permisif bisa disimpulkan sebagai suatu tradisi turun temurun dimana pembolehan terhadap suatu bentuk perbuatan yang dulunya dianggap tidak pantas tapi lama-kelamaan dianggap sebagai sesuatu yang biasa dalam kehidupan masyarakat. Budaya permisif di Indonesia saat ini berkembang tidak terkontrol, hal ini disebabkan dampak dari sifat globalisasi yang menyebabkan kehidupan masyarakat di dunia tidak ada jarak ruang dan waktu, materalistik, serta konsumerisme. Dan pada dasarnya sebagian besar masyarakat Indonesia juga mudah untuk menerima sesuatu yang baru walupun itu terkadang tidak selaras dengan nilai-nilai luhur bangsa, dan akhirnya tak terbantahkan juga ketika masyarakat melakukan pembiaran atau pemakluman.
Budaya permisif dapat dijumpai dari semua aspek kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Dari aspek ekonomi, sosial, budaya, serta politik. Yang patut untuk dicermati serta dikaji ulang dari aspek politik, mengapa demikian, karena dewasa ini proses perpolitikan yang dipertontonkan pejabat-pejabat cenderung ke politik tidak sehat, terlihat ketika para pemangku jabatan tersebut tak malu-malu melakukan loby-loby sesat yang menguntungkan kepentingan golongannya ataupun koalisinya saja dan mengesampingkan rakyat, toh walaupun memang ada adagium yang menyatakan bahwa “tidak ada kawan sejati, ataupun musuh sejati, yang ada hanyalah kepentingan sejati”. Dan semua pejabat menganggap hal itu adalah suatu hal yang biasa dalam politik. Pemakluman seperti itulah yang dianggap budaya permisif yang tidak terkontrol dalam politik di Indonesia. Tetapi apa kita diam ketika hal tersebut malah menjadikan pejabat-pejabat menjadi “garong-garong berdasi”?

Kombinasi antara Korupsi Sistemik, Budaya Permisif, dan Politik
            Apa yang terjadi ketika korupsi sistemik yang dilakukan oknum-oknum pejabat merupakan dari penyimpangan kekuasaan (abuse of power). Menurut Mahfud MD,  status dan jabatan yang dikuasai adalah peluang untuk mencari keuntungan pribadi sehingga tidak akan bekerja dengan baik jika tidak menerima imbalan dan akan selalu mempresepsikan setiap tugas dan fungsi yang diemban dari sisi materi. Proyek-proyek negara yang dibiayai dari uang rakyat dilihat sebagai lahan untuk menambah pendapatan sehingga sebanyak mungkin dikeruk untuk keuntungan pribadi. Hilanglah kejujuran digantikan dengan manipulasi untuk pertanggungjawaban keuangan. Hilanglah semangat kerja keras, digantikan dengan prinsip mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan kerja sesedikit mungkin.[5]
Maka sangat disayangkan sekali jika pejabat-pejabat di negeri ini orientasi kekuasaannya digunakan untuk kepentingan dirinya sendiri maupun kelompoknya, dan kebanyakan mengaplikasikan korupsi sistemik dalam roda pemerintahannya. Serta hal itu terjadi secara terus-menerus akibat budaya permisif kebablasan pada proses politik. Antara pejabat dengan pejabat, atau pejabat dengan pengusaha sekarang ini menganggap “kerja sama” untuk saling menguntungkan dari proyek pemerintah adalah suatu yang wajar dan biasa dalam setiap birokrasi, hal ini merupakan orientasi politik yang salah dan sudah menjadi budaya permisif dalam lingkup birokrasi. Ketika birokrasi di pemerintahan menganggap korupsi itu menjadi sebuah kewajaran, maka persepsi masyarakat akan terbentuk bahwa memang demikian adanya. Tidak diragukan lagi, budaya permisif tentang paradigma korupsi semakin luas, tidak hanya di level politik tingkat atas, melainkan sampai ke politik tingkat bawah.
Ketika pejabat-pejabat tinggi di kementerian atau di pemerintahan daerah bekerja sama dengan pengusaha untuk tender pengadaan barang dan jasa biasanya dimulai dari penggelembungan anggaran; rencana pengadaan yang diarahkan; kemudian tahap panitia lelang tender yang tidak transparan, memihak, serta tidak independen; sampai mutu atau kualitas yang lebih rendah dari ketentuan dalam spesifikasi teknik; hal tersebut hanya sebagian kecil dari penjelasan Rohim[6] ada 15 tahapan dan 52 modus operandi yang digunakan antara pejabat dengan penguasaha dalam pengadaan barang dan jasa. Bahkan di level politik paling bawah pun banyak ditemui politik uang (money politic) hanya untuk perebutan kursi kepala desa, mulai dari serangan fajar ke rumah masing-masing penduduk sebelum pemilihan kepada desa atau jauh-jauh hari sebelum pemilihan berlangsung, bahkan yang mencengangkan adalah ketika pembagian uang kepada penduduk dilakukan setelah proses pencoblosan kepala desa di TPS yang bersangkutan, sebagian menganggap itu sebagai ucapan “terimakasih” karena telah ikut berpartisipasi dan meluangkan waktunya dalam pemilihan kepala desa dan panitia pemilihan kepala desa yang berasal dari kecamatan setempat juga tak akan berbuat apa-apa, karena diduga itu menjadi tradisi tersendiri saat pemilihan kepala desa. Dan dapat disimpulkan bahwa korupsi sistemik di level politik tingkat atas maupun tingkat bawah sekarang ini tidak hanya merugikan secara meteril tapi juga sangat mengancam proses demokrasi di Indonesia.

Pencegahan = Hilangkan
Pencegahan korupsi secara umum dilakukan oleh semua elemen, mulai dari KPK sebagai garda terdepan, kemudian di semua lembaga-lembaga tinggi negara atau lembaga-lembaga daerah yang melakukan reformasi birokrasi, serta masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan antikorupsi juga tidak bosan-bosannya digencarkan di lembaga pendidikan Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi yang dimotori oleh KPK maupun LSM yang concern dalam memerangi korupsi. Di internal KPK sendiri bentuk pencegahan korupsi dalam struktur kekuasaan, seperti:[7] dengan memperkenalkan etika ke dalam lembaga-lembaga publik,  pencegahan konflik kepentingan, laporan kekayaan pejabat publik, verifikasi, dan akses publik untuk mengetahui laporan kekayaan tersebut.
Jika secara teknis pencegahan korupsi dijabarkan di atas maka, ada satu persoalan tentang pencegahan dengan cara menghilangkan budaya permisif dalam politik harus dijelaskan. Seperti pada penjelaskan sub bab sebelum, maka menghilangkan budaya permisif dalam politik untuk hal-hal yang bertujuan korupsi merupakan sebuah keharusan. Untuk meminimalisir penyalahgunaan wewenang, maka para elit politik haram hukumnya membiarkan praktek-praktek korupsi di lembaganya terus berkembang, maka sudah saatnya elit politik yang masih belum atau tidak mau ikut campur dalam urusan korupsi di lembaganya secara lantang untuk tidak membiarkan korupsi dengan operandi yang semakin canggih itu menggerogoti lembaganya. Semakin banyak elit politik yang diam dan menganggap wajar korupsi maka secara langsung juga para elit politik itu untuk menghancurkan negara. 
Korupsi memang masalah multidimensional, oleh karena itu pemberantasannya juga harus secara multidimensional. Munafik ketika para pejabat ikut menolak antikorupsi tetapi dia seakan menutup mata dengan praktek korupsi yang tejadi di lembaganya, bahkan malah dia yang melakukan korupsi. Jadi sudah saatnya pejabat-pejabat yang bersih untuk ikut serta menghilangkan budaya permisif tentang operandi-operandi korupsi yang terjadi di masing-masing lembaganya. Tak cukup hanya untuk tidak mengatakan korupsi, tak cukup hanya untuk melaporkan kekayaan ke KPK, dan tak cukup hanya menjadi penonton setia rekan-rekannya tertangkap tangan KPK, sudah saatnya politik di Indonesia bersih dari budaya pembiaran, menganggap suatu yang wajar, atau bahkan pemakluman tentang KORUPSI.

Penutup
            Deny Idrayana berkata, “Korupsi dan demokrasi bukan kawan sejati. Reformasi dan korupsi adalah lawan abadi. Tak ada jalan lain, Indonesia harus berhenti bermain-main, berhenti bertoleransi dengan korupsi”.[8] Korupsi itu bukan budaya, korupsi itu bukan way of life, korupsi juga bukan suatu kewajaran, tetapi korupsi itu memiskinkan, menyengsarakan, matrealistik, kemunafikan, dan masih banyak kata-kata lain yang bisa lebih kasar untuk memaknainya. Ketika negara lain konsentrasi untuk pembangunan bangsanya dengan tanpa ragu membasmi koruptor dengan akselerasi begitu cepat, Indonesia seakan jalan ditempat, terbelenggu dengan ketidakpastian padahal semua itu bersumber dari “permisif”. Tunggu saja kehancuran ketika semua pejabat di negara ini secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi membolehkan, memberi ijin, bahkan membiarkan operandi-operandi korupsi sistematis dan canggih itu eksis dalam lembaga-lembaga negara.
Elit politik seharusnya mengetahui kode etik, bukan malah menjadi matrealistik, seharusnya mereka sadar bahwa negara ini sedang sakit, butuh suntik bukan licik. Semoga kebenaran segera terbit, untuk Indonesia bangkit.



[1] Wijayanto,  Memahami Korupsi, dalam Wijayanto dan Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi Indonesia- Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan, Gramedia Pustaka Utama, 2009, hlm. 17.
[2] World Bank,  Anti-Corruption in Transition 2–Corupption in Enterprise-State Interactions in Europe and Central Asia 1999-2002, hlm. 24, dalam Wijayanto dan Ridwan Zachrie, ibid, hlm. 18.
[3] Rohim, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Mukti, 2008, hlm.27-102 dalam Jawade Hafidz Arsyad, Korupsi dalam Perspektif HAN,  Sinar Grafika, 2013, hal. 26-69
[4] Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)  Daring, bisa diakses secara online dengan alamat website: http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php
[5] Dikutip dari; Mahfud MD. Etika Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Berdasarkan Konstitusi (online).  Makalah pada Kuliah Perdana Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Senin, 17 September 2012 di Gedung Grha Sabha Pramana UGM, Yogyakarta.(http://akademik.ugm.ac.id/fileserve250/pengumuman/presentasi/2012makalah_kuliah_umum_pascasarjana_ugm.pdf, 9 Oktober 2013)
[6] Rohim, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Mukti, 2008, hlm.38-85 dalam Jawade Hafidz Arsyad, op.cit, hal. 28-56
[7] Farid M. Ibrahim,  KPK: Posisi Startegis, Problem, dan Prospeknya, dalam Wijayanto dan Ridwan Zachrie, op.cit, hlm. 665.
[8] Komentar di buku Korupsi Mengorupsi Indonesia, pada sampul belakang.

No comments:

Post a Comment