Pendahuluan
Korupsi
di Indonesia sekarang ini secara terang-terangan menjadi fenomena di masyarakat
baik dari aspek hukum, politik, sosial, maupun ekonomi. Serta hampir setiap
hari menjadi topik utama pemberitaan media massa nasional. Hal ini kian
mengkhawatirkan karena korupsi berkembang pesat, masif, dan sistematis. Artinya,
korupsi saat ini tidak dilakukan secara serampangan, melainkan korupsi sudah
tertanam dalam suatu sistem birokrasi yang rapi sehingga uang negara mengalir
ke kantong-kantong “tikus berdasi” tersebut tidak mudah diketahui, bahkan
lembaga yang mempunyai wewenang untuk membasmi korupsi pun membutuhkan waktu
yang tidak sebentar untuk menyeret oknum-oknum korup itu ke Pengadilan Tipikor.
Korupsi
sistematis di berbagai lembaga negara tidak hanya melibatkan satu atau dua
oknum pejabat, tetapi sudah melibatkan beberapa pihak yang terkoordinasi secara
baik. Hal demikianlah patut diduga bahwa lembaga legislatif, eksekutif, dan
yudikatif sudah disusupi suatu sistem “kotor” tersebut. Kalimat “mungkin lagi apes” banyak keluar dari mulut
masyarakat maupun pengamat politik dan pemerhati korupsi ketika ada pejabat
yang tertangkap tangan atau terkena sadap KPK karena dicurigai terlibat korupsi
sistemik, hal demikian mungkin karena terlalu banyaknya pejabat yang terlibat
korupsi secara silih berganti muncul di pemberitaan media dan membuat kepercayaan
publik kepada pejabat semakin lama semakin memudar.
Operandi Korupsi Sistemik
Korupsi
sistemik tergolong ke dalam grand
corruption yakni korupsi besar dan biasanya dilakukan pejabat yang
mempunyai wewenang besar, berkaitan dengan pengambilan kebijakan yang
mempengaruhi hajat hidup rakyat. Menurut Wijayanto, grand corruption menyebabkan kerugian negara yang sangat besar
secara finansial maupun nonfinansial, modus operandi yang umum dilakukan adalah
kolusi antara kekuatan ekonomi, kekuatan politik, dan para pengambil kebijakan
publik.[1]
World
Bank menyebutkan korupsi yang menyangkut kebijakan publik itu adalah state capture, yang dijabarkan dalam berbagai
bentuk, yakni: (1) suap kepada DPR untuk mempengaruhi perundangan, (2) suap
kepada pejabat negara untuk mempengaruhi kebijakan publik, (3) suap kepada lembaga
peradilan untuk mempengaruhi keputusan terkait dengan kasus-kasus besar, (4)
suap kepada pejabat bank sentral untuk mempengaruhi kebijakan moneter, dan (5)
sumbangan kampanye ilegal untuk partai politik.[2] Dari kelima yang
disebutkan World Bank bentuk state
capture, maka tak dapat dipungkiri lagi bahwa di Indonesia semuanya ter-blow-up ke publik mulai dari tangkap
tangan KPK, tahap penyelidikan hingga putusan pengadilan.
Sedangkan
menurut Rohim, modus operandi korupsi di Indonesia dikelompokkan menjadi lima
kelompok: (1) modus operandi korupsi secara umum, meliputi penyuapan,
pemalsuan, pemerasan, penyalahgunaan jabatan atau wewenang, dan nepotisme; (2)
modus operandi korupsi dalam pemalsuan pajak; (3) modus operandi korupsi dalam
pengadaan barang dan jasa; (4) modus operandi korupsi dalam pencucian uang; (5)
modus operandi korupsi dalam pengelolaan hutan.[3]
Budaya Permisif dan Politik
Secara harfiah permisif mempunyai arti bersifat
terbuka (serba membolehkan atau suka mengijinkan terhadap hal-hal yang dahulu
dianggap tabu).[4]
Maka budaya permisif bisa disimpulkan sebagai suatu tradisi turun temurun
dimana pembolehan terhadap suatu bentuk perbuatan yang dulunya dianggap tidak
pantas tapi lama-kelamaan dianggap sebagai sesuatu yang biasa dalam kehidupan
masyarakat. Budaya permisif di Indonesia saat ini berkembang tidak terkontrol,
hal ini disebabkan dampak dari sifat globalisasi yang menyebabkan kehidupan
masyarakat di dunia tidak ada jarak ruang dan waktu, materalistik, serta
konsumerisme. Dan pada dasarnya sebagian besar masyarakat Indonesia juga mudah
untuk menerima sesuatu yang baru walupun itu terkadang tidak selaras dengan
nilai-nilai luhur bangsa, dan akhirnya tak terbantahkan juga ketika masyarakat
melakukan pembiaran atau pemakluman.
Budaya permisif dapat dijumpai dari
semua aspek kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Dari aspek
ekonomi, sosial, budaya, serta politik. Yang patut untuk dicermati serta dikaji
ulang dari aspek politik, mengapa demikian, karena dewasa ini proses perpolitikan
yang dipertontonkan pejabat-pejabat cenderung ke politik tidak sehat, terlihat
ketika para pemangku jabatan tersebut tak malu-malu melakukan loby-loby sesat yang menguntungkan
kepentingan golongannya ataupun koalisinya saja dan mengesampingkan rakyat, toh
walaupun memang ada adagium yang menyatakan bahwa “tidak ada kawan sejati, ataupun musuh sejati, yang ada hanyalah
kepentingan sejati”. Dan semua pejabat menganggap hal itu adalah suatu hal
yang biasa dalam politik. Pemakluman seperti itulah yang dianggap budaya
permisif yang tidak terkontrol dalam politik di Indonesia. Tetapi apa kita diam
ketika hal tersebut malah menjadikan pejabat-pejabat menjadi “garong-garong
berdasi”?
Kombinasi antara Korupsi Sistemik, Budaya Permisif,
dan Politik
Apa
yang terjadi ketika korupsi sistemik yang dilakukan oknum-oknum pejabat
merupakan dari penyimpangan kekuasaan (abuse
of power). Menurut Mahfud MD, status
dan jabatan yang dikuasai adalah peluang untuk mencari keuntungan pribadi
sehingga tidak akan bekerja dengan baik jika tidak menerima imbalan dan akan
selalu mempresepsikan setiap tugas dan fungsi yang diemban dari sisi materi.
Proyek-proyek negara yang dibiayai dari uang rakyat dilihat sebagai lahan untuk
menambah pendapatan sehingga sebanyak mungkin dikeruk untuk keuntungan pribadi.
Hilanglah kejujuran digantikan dengan manipulasi untuk pertanggungjawaban
keuangan. Hilanglah semangat kerja keras, digantikan dengan prinsip mendapatkan
keuntungan sebanyak-banyaknya dengan kerja sesedikit mungkin.[5]
Maka sangat disayangkan sekali jika
pejabat-pejabat di negeri ini orientasi kekuasaannya digunakan untuk
kepentingan dirinya sendiri maupun kelompoknya, dan kebanyakan mengaplikasikan
korupsi sistemik dalam roda pemerintahannya. Serta hal itu terjadi secara
terus-menerus akibat budaya permisif kebablasan pada proses politik. Antara
pejabat dengan pejabat, atau pejabat dengan pengusaha sekarang ini menganggap
“kerja sama” untuk saling menguntungkan dari proyek pemerintah adalah suatu
yang wajar dan biasa dalam setiap birokrasi, hal ini merupakan orientasi
politik yang salah dan sudah menjadi budaya permisif dalam lingkup birokrasi.
Ketika birokrasi di pemerintahan menganggap korupsi itu menjadi sebuah
kewajaran, maka persepsi masyarakat akan terbentuk bahwa memang demikian adanya.
Tidak diragukan lagi, budaya permisif tentang paradigma korupsi semakin luas,
tidak hanya di level politik tingkat atas, melainkan sampai ke politik tingkat
bawah.
Ketika pejabat-pejabat tinggi di
kementerian atau di pemerintahan daerah bekerja sama dengan pengusaha untuk
tender pengadaan barang dan jasa biasanya dimulai dari penggelembungan
anggaran; rencana pengadaan yang diarahkan; kemudian tahap panitia lelang
tender yang tidak transparan, memihak, serta tidak independen; sampai mutu atau
kualitas yang lebih rendah dari ketentuan dalam spesifikasi teknik; hal
tersebut hanya sebagian kecil dari penjelasan Rohim[6] ada 15 tahapan dan 52
modus operandi yang digunakan antara pejabat dengan penguasaha dalam pengadaan
barang dan jasa. Bahkan di level politik paling bawah pun banyak ditemui
politik uang (money politic) hanya
untuk perebutan kursi kepala desa, mulai dari serangan fajar ke rumah
masing-masing penduduk sebelum pemilihan kepada desa atau jauh-jauh hari
sebelum pemilihan berlangsung, bahkan yang mencengangkan adalah ketika
pembagian uang kepada penduduk dilakukan setelah proses pencoblosan kepala desa
di TPS yang bersangkutan, sebagian menganggap itu sebagai ucapan “terimakasih”
karena telah ikut berpartisipasi dan meluangkan waktunya dalam pemilihan kepala
desa dan panitia pemilihan kepala desa yang berasal dari kecamatan setempat
juga tak akan berbuat apa-apa, karena diduga itu menjadi tradisi tersendiri
saat pemilihan kepala desa. Dan dapat disimpulkan bahwa korupsi sistemik di
level politik tingkat atas maupun tingkat bawah sekarang ini tidak hanya
merugikan secara meteril tapi juga sangat mengancam proses demokrasi di
Indonesia.
Pencegahan = Hilangkan
Pencegahan korupsi secara umum dilakukan
oleh semua elemen, mulai dari KPK sebagai garda terdepan, kemudian di semua
lembaga-lembaga tinggi negara atau lembaga-lembaga daerah yang melakukan
reformasi birokrasi, serta masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan
antikorupsi juga tidak bosan-bosannya digencarkan di lembaga pendidikan Sekolah
Dasar hingga Perguruan Tinggi yang dimotori oleh KPK maupun LSM yang concern dalam memerangi korupsi. Di
internal KPK sendiri bentuk pencegahan korupsi dalam struktur kekuasaan,
seperti:[7] dengan memperkenalkan
etika ke dalam lembaga-lembaga publik,
pencegahan konflik kepentingan, laporan kekayaan pejabat publik,
verifikasi, dan akses publik untuk mengetahui laporan kekayaan tersebut.
Jika secara teknis pencegahan korupsi
dijabarkan di atas maka, ada satu persoalan tentang pencegahan dengan cara
menghilangkan budaya permisif dalam politik harus dijelaskan. Seperti pada
penjelaskan sub bab sebelum, maka menghilangkan budaya permisif dalam politik
untuk hal-hal yang bertujuan korupsi merupakan sebuah keharusan. Untuk
meminimalisir penyalahgunaan wewenang, maka para elit politik haram hukumnya
membiarkan praktek-praktek korupsi di lembaganya terus berkembang, maka sudah
saatnya elit politik yang masih belum atau tidak mau ikut campur dalam urusan
korupsi di lembaganya secara lantang untuk tidak membiarkan korupsi dengan operandi
yang semakin canggih itu menggerogoti lembaganya. Semakin banyak elit politik
yang diam dan menganggap wajar korupsi maka secara langsung juga para elit
politik itu untuk menghancurkan negara.
Korupsi memang masalah multidimensional,
oleh karena itu pemberantasannya juga harus secara multidimensional. Munafik
ketika para pejabat ikut menolak antikorupsi tetapi dia seakan menutup mata
dengan praktek korupsi yang tejadi di lembaganya, bahkan malah dia yang
melakukan korupsi. Jadi sudah saatnya pejabat-pejabat yang bersih untuk ikut
serta menghilangkan budaya permisif tentang operandi-operandi korupsi yang
terjadi di masing-masing lembaganya. Tak cukup hanya untuk tidak mengatakan
korupsi, tak cukup hanya untuk melaporkan kekayaan ke KPK, dan tak cukup hanya
menjadi penonton setia rekan-rekannya tertangkap tangan KPK, sudah saatnya
politik di Indonesia bersih dari budaya pembiaran, menganggap suatu yang wajar,
atau bahkan pemakluman tentang KORUPSI.
Penutup
Deny
Idrayana berkata, “Korupsi dan demokrasi bukan kawan sejati. Reformasi dan
korupsi adalah lawan abadi. Tak ada jalan lain, Indonesia harus berhenti
bermain-main, berhenti bertoleransi dengan korupsi”.[8] Korupsi itu bukan budaya,
korupsi itu bukan way of life,
korupsi juga bukan suatu kewajaran, tetapi korupsi itu memiskinkan, menyengsarakan,
matrealistik, kemunafikan, dan masih banyak kata-kata lain yang bisa lebih
kasar untuk memaknainya. Ketika negara lain konsentrasi untuk pembangunan
bangsanya dengan tanpa ragu membasmi koruptor dengan akselerasi begitu cepat,
Indonesia seakan jalan ditempat, terbelenggu dengan ketidakpastian padahal
semua itu bersumber dari “permisif”. Tunggu saja kehancuran ketika semua
pejabat di negara ini secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi
membolehkan, memberi ijin, bahkan membiarkan operandi-operandi korupsi
sistematis dan canggih itu eksis dalam lembaga-lembaga negara.
Elit politik seharusnya mengetahui kode
etik, bukan malah menjadi matrealistik, seharusnya mereka sadar bahwa negara
ini sedang sakit, butuh suntik bukan licik. Semoga kebenaran segera terbit,
untuk Indonesia bangkit.
[1] Wijayanto, Memahami Korupsi, dalam Wijayanto dan Ridwan
Zachrie, Korupsi Mengorupsi Indonesia-
Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan, Gramedia Pustaka Utama, 2009, hlm.
17.
[2] World Bank, Anti-Corruption
in Transition 2–Corupption in Enterprise-State Interactions in Europe and
Central Asia 1999-2002, hlm. 24, dalam Wijayanto dan Ridwan Zachrie, ibid, hlm. 18.
[3]
Rohim, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Mukti, 2008, hlm.27-102
dalam Jawade Hafidz Arsyad, Korupsi dalam
Perspektif HAN, Sinar Grafika, 2013,
hal. 26-69
[4]
Berdasarkan Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) Daring, bisa
diakses secara online dengan alamat website: http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php
[5] Dikutip dari; Mahfud MD. Etika Dalam Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara Berdasarkan Konstitusi (online). Makalah
pada Kuliah Perdana Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Senin, 17
September 2012 di Gedung Grha Sabha Pramana UGM, Yogyakarta.(http://akademik.ugm.ac.id/fileserve250/pengumuman/presentasi/2012makalah_kuliah_umum_pascasarjana_ugm.pdf, 9 Oktober 2013)
[6] Rohim, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Mukti, 2008, hlm.38-85
dalam Jawade Hafidz Arsyad, op.cit,
hal. 28-56
[7] Farid M. Ibrahim, KPK:
Posisi Startegis, Problem, dan Prospeknya, dalam Wijayanto dan Ridwan
Zachrie, op.cit, hlm. 665.
[8]
Komentar di buku Korupsi Mengorupsi Indonesia, pada
sampul belakang.
No comments:
Post a Comment